Monday, March 31, 2014

Tanjidor, Kesenian Betawi yang Kian Terancam

Tanjidor adalah salah satu jenis musik Betawi yang mendapat pengaruh kuat dari musik Eropa. Kata "Tanjidor" itu sendiri berasal dari kata dalam bahasa Portugis “tangedor”, yang berarti "alat-alat musik berdawai (stringed instruments)". Tetapi dalam kenyataannya, ansambel Tanjidor terdiri dari alat-alat musik yang terdiri dari klarinet (tiup), piston (tiup), trombon (tiup), saksofon tenor (tiup), saksofon bas (tiup), drum  (membranofon), simbal (perkusi), dan side drums (tambur). Jenis musik ini muncul pada abad ke-18 yang ketika itu dimainkan oleh 7 sampai dengan 10 orang,  untuk mengiringi perhelatan atau mengarak pengantin. Namun akhir-akhir ini, musik Tanjidor seringnya ditampilkan untuk menyambut tamu agung.




Menurut cerita Rachmat Ruchiyat, peneliti yang sudah mendokumentasi berbagai budaya Betawi, tanjidor mulai tercatat perkembangannya saat masa tuan tanah di Batavia. Pada abad ke-19, di lingkungan Betawi hiduplah tuan-tuan tanah kaya raya. Salah satunya adalah Majoor Jantje, yang tinggal di Citrap (Citeureup). Mayor Jantje ini memiliki sekelompok pelayan yang secara bergantian memainkan alat musik untuk menghiburnya. Mayor bahkan memanggil guru pelatih atau mentor khusus untuk mengajari budak-budaknya yang berbakat musik. Sampai muncul peraturan baru yang membuat perbudakan dibubarkan, para pemusik tersebut bergabung yang selanjutnya akan menjadi asal muasal kelompok Tanjidor. Uniknya, mereka selalu bermain tanpa partitur. Tidak ada patron (ketentuan) yang baku. Ketika era kekuasaan Jepang masuk ke Indonesia yang mengakibatkan kelompok ini menjadi bubar. Namun, para pemusiknya berusaha mempertahankan tanjidor dengan cara ngamen dari rumah ke rumah. Namun saat periode Walikota Jakarta Raya Sudiro, tahun 1953, grup Tanjidor dianggap merendahkan harkat sehingga dilarang dalam bentuk apapun.


Berbagai tantangan mulai dihadapi oleh perkembangan musik Tanjidor. Tantangan terbesar adalah soal regenerasi Tanjidor. Upaya regenerasi ini tidak mudah dilakukan karena generasi muda umumnya tidak tertarik untuk mempelajari Tanjidor, tak terkecuali anak-anak dari para pemusiknya. Keberlangsungan hidup tanjidor makin terancam karena tidak ada upaya untuk pendokumentasian. Salah satunya terhadap lagu-lagu yang dimainkan, karena selama ini para pemain tanjidor memainkan lagu tanpa catatan dan hanya berdasarkan ingatan. Upaya pendokumentasian ini pernah ditunjukan pada era Ali Sadikin, namun hasil dokumentasi tersebut hilang. Pada awal kemunculannya, tanjidor merupakan kesenian masyarakat papan atas. Seiring perkembangan zaman, tanjidor hanya dimainkan masyarakat pinggiran Jakarta. Bahkan sekarang tidak banyak lagi grup tanjidor, baik di daerah Jakarta dan pinggiran kota, maupun daerah-daerah Jawa Barat. 

Sumber : Tanjidor

Meski demikian, sejarawan muda yang menggerakkan Komunitas Bambu, JJ Rizal, tidak ragu tanjidor bisa bertahan. Berkaca pada sejarah; saat mengalami benturan setelah larangan main di Jakarta, tanjidor justru berlanjut dan tetap hidup dengan cara berevolusi yang ditandai dengan kemunculan banyaknya variasi dalam Tanjidor. Seperti Tanjikres (tanjidor orkes), Tanjinong (tanjidor lenong), Tanjipeng (Tanjidor Topeng) dan lain sebagainya. Tanjidor umumnya memainkan lagu-lagu Betawi seperti ”Jali-Jali” dan ”Cente Manis”, kini dibuat variasi dengan lagu-lagu Melayu hingga dangdut.


Referensi :
1. http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/03/tanjidor-kesenian-betawi-yang-kian-terancam
2. http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/3135/Tanjidor

3. http://nationalgeographic.co.id/berita/2014/03/tiga-perspektif-tanjidor

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...