Indonesia
memiliki berbagai macam kekayaan alam, keanekaragaman suku, dan budaya yang
tersebar luas diseluruh penjuru wilayah. Namun, masih banyak masyarakat,
terutama pelajar dan mahasiswa di Indonesia yang belum banyak tahu tentang
potensi dan keberagaman suku dan budaya yang dimiliki negeri ini. Pada
postingan kali ini, saya akan membahas tentang Suku Anak Dalam atau biasa
dikenal dengan "Orang Rimba" yang bermukim di wilayah Provinsi
Jambi.
Suku
Anak Dalam memiliki berbagai macam sebutan nama, seperti Kubu, suku Anak Dalam,
dan Orang Rimba. Bagi suku Anak Dalam, kata "Kubu" memiliki
arti yang negatif, yaitu menjijikan, kotor, dan bodoh. Panggilan kubu bagi suku anak dalam pertama kali
terdapat di tulisan-tulisan pejabat kolonial. Sementara sebutan "suku Anak
Dalam" merupakan sebutan yang diciptakan oleh pemerintah Indonesia melalui
Departemen Sosial. "Suku Anak Dalam" itu sendiri memiliki arti orang
yang bermukim di pedalaman dan terbelakang. Sebutan yang lainnya adalah
"Orang Rimba", merupakan sebutan yang lahir dari suku Anak Dalam itu
sendiri. Arti "Orang Rimba" adalah orang yang hidup dan
mengembangkan kebudayaan tidak terlepas dari hutan, tempat tinggal
mereka. Istilah orang Rimba dipublikasikan oleh seorang peneliti
Muntholib Soetomo melalui disertasinya berjudul “Orang Rimbo: Kajian
Struktural Fungsional masyarakat terasing di Makekal, provinsi Jambi”.
Sumber gambar : Anak Rimba
Asal usul Anak Dalam berasal dari
sejumlah cerita atau hikayat yang dituturkan secara lisan dan berkembang di
provinsi Jambi. Beberapa cerita atau hikayat itu adalah Cerita Buah Gelumpang,
Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera
Tengah, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan
Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu.
Menurut Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998
:55-56, secara mitologi, suku Anak Dalam masih menganggap satu keturunan dengan
Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut ingatan
mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka
bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani,
wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman
kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Dari Dusun
Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako
Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan antara
sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari sungai
Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul
Mangris.
Menurut Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos
RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam yaitu sejak Tasun 1624, Kesultanan
Palembang dan Kerajaan Jambi yang sebenarnya masih satu rumpun memang terus
menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun
1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok masyarakat Anak
Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang
berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan)
berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti
orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok
lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata
menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito).
Sumber gambar : Ras Mongoloid Sumber gambar : Ras Wedoid
Orang Rimba memiliki
wilayah hidup yang cukup luas mulai dari Palembang hingga Riau dan Jambi.
Namun, populasi Orang Rimba paling banyak dijumpai di daerah Jambi. Berdasarkan
hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004
menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD sejumlah 1.542 jiwa. Mereka
menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan
empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba.
Beberapa dari mereka ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan
desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan
hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu. Selain di TNBD, kelompok-kelompok
Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di
Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada
sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier),
seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga
yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai,
Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang.
Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang.
Sumber gambar : Orang Rimba
Namun kini, tradisi dan budaya
Orang Rimba atau Suku Anak Dalam yang menetap di kawasan hutan Bukit 12
Provinsi Jambi terancam punah. Kondisi itu diakibatkan tekanan pembangunan
perkebunan sawit, Penebangan pohon yang tidak terkendali oleh Perusahan kertas, pembangunan Hutan Tanaman Industri maupun kehadiran Taman Nasional
Bukit 12.
Sungai yang biasa digunakan untuk sumber air minum bagi Orang Rimba kini sudah tercemar, sejumlah tanaman obat-obatan yang kerap digunakan
Orang Rimba mulai menghilang dan sulit ditemui karena penebangan hutan untuk
perkebunan sawit. Perubahan
yang paling dirasakan adalah hukum adat yang diberlakukan bagi perusak pohon sulit dilakukan karena kerusakan terjadi secara
massal oleh perusahaan. Orang
Rimba mempunyai kebudayaan setiap orang harus menjaga satu pohon yang menjadi
penanda saat ia lahir atau sebagai pengganti identitas karena mereka tidak
mempunyai akta kelahiran. Jika
pohon itu dirusak atau bahkan sampai ditebang maka siapapun pelakunya harus
dihukum membayar denda sesuai dengan ketentuan adat setempat. Orang
Rimba atau Suku Anak Dalam adalah komunitas adat yang tinggal secara semi
nomaden di kawasan hutan Bukit 12 dan hidup dari alam dengan berburu. Tekanan
dari perkebunan sawit memaksa mereka terus berpindah dan semakin terdesak ke
dalam hutan yang kini menjadi Taman Nasional Bukit 12. Sebagai
Taman Nasional, Orang Rimba tidak bisa lagi bebas mengelola hutan dengan hukum
adat mereka sehingga mereka akan sulit bertahan.
Referensi :
1. http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1071/suku-anak-dalam-jambi
2. http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/04/15/ljorj4-duhtradisi-dan-budaya-orang-rimba-terancam-punah
No comments:
Post a Comment