Thursday, April 3, 2014

Mengenal Suku Anak Dalam Alias Orang Rimba

Indonesia memiliki berbagai macam kekayaan alam, keanekaragaman suku, dan budaya yang tersebar luas diseluruh penjuru wilayah. Namun, masih banyak masyarakat, terutama pelajar dan mahasiswa di Indonesia yang belum banyak tahu tentang potensi dan keberagaman suku dan budaya yang dimiliki negeri ini. Pada postingan kali ini, saya akan membahas tentang Suku Anak Dalam atau biasa dikenal dengan "Orang Rimba" yang bermukim di wilayah Provinsi Jambi. 

Suku Anak Dalam memiliki berbagai macam sebutan nama, seperti Kubu, suku Anak Dalam, dan Orang Rimba. Bagi suku Anak Dalam, kata "Kubu" memiliki arti yang negatif, yaitu menjijikan, kotor, dan bodoh. Panggilan kubu bagi suku anak dalam pertama kali terdapat di tulisan-tulisan pejabat kolonial. Sementara sebutan "suku Anak Dalam" merupakan sebutan yang diciptakan oleh pemerintah Indonesia melalui Departemen Sosial. "Suku Anak Dalam" itu sendiri memiliki arti orang yang bermukim di pedalaman dan terbelakang. Sebutan yang lainnya adalah "Orang Rimba", merupakan sebutan yang lahir dari suku Anak Dalam itu sendiri. Arti "Orang Rimba" adalah orang yang hidup dan mengembangkan kebudayaan tidak terlepas dari hutan, tempat tinggal mereka.  Istilah orang Rimba dipublikasikan oleh seorang peneliti Muntholib Soetomo melalui disertasinya berjudul “Orang Rimbo: Kajian Struktural Fungsional masyarakat terasing di Makekal, provinsi Jambi”.

Sumber gambar : Anak Rimba

Asal usul Anak Dalam berasal dari sejumlah cerita atau hikayat yang dituturkan secara lisan dan berkembang di provinsi Jambi. Beberapa cerita atau hikayat itu adalah Cerita Buah Gelumpang, Tambo Anak Dalam (Minangkabau), Cerita Orang Kayu Hitam, Cerita Seri Sumatera Tengah, Cerita Perang Jambi dengan Belanda, Cerita Tambo Sriwijaya, Cerita Turunan Ulu Besar dan Bayat, Cerita tentang Orang Kubu.

Menurut Dirjen Bina Masyarakat Terasing Depsos RI, 1998 :55-56, secara mitologi, suku Anak Dalam masih menganggap satu keturunan dengan Puyang Lebar Telapak yang berasal dari Desa Cambai, Muara Enim. Menurut ingatan mereka, yang didapat dari penuturan kakek-neneknya, bahwa sebelum mereka bertempat tinggal di wilayah Sako Suban, mereka tinggal di dusun Belani, wilayah Muara Rupit. Mereka hijrah karena terdesak waktu perang ketika zaman kesultanan Palembang dan ketika masa penjajahan kolonial Belanda. Dari Dusun Belani, Suku Anak-Dalam mundur lebih masuk ke hutan dan sampai di wilayah Sako Suban. Di wilayah Sako Suban ini, mereka bermukim di wilayah daratan antara sungai Sako Suban dan sungai Sialang, keduanya sebagai anak dari sungai Batanghari Leko. Wilayah pemukiman yang mereka tempati disebut dengan Tunggul Mangris.

Menurut Departemen sosial dalam data dan informasi Depsos RI (1990) menyebutkan asal usul Suku Anak Dalam yaitu sejak Tasun 1624, Kesultanan Palembang dan Kerajaan Jambi yang sebenarnya masih satu rumpun memang terus menerus bersitegang dan pertempuran di Air Hitam akhirnya pecah pada tahun 1629. Versi ini menunjukkan mengapa saat ini ada dua kelompok masyarakat Anak Dalam dengan bahasa, bentuk fisik, tempat tinggal dan adat istiadat yang berbeda. Mereka yang menempati belantara Musi Rawas (Sumatera Selatan) berbahasa Melayu, berkulit kuning dengan postur tubuh ras Mongoloid seperti orang Palembang sekarang. Mereka ini keturunan pasukan palembang. Kelompok lainnya tinggal di kawasan hutan Jambi berkulit sawo matang, rambut ikal, mata menjorok ke dalam. Mereka tergolong ras wedoid (campuran wedda dan negrito).

Sumber gambar : Ras Mongoloid             Sumber gambar : Ras Wedoid

Orang Rimba memiliki wilayah hidup yang cukup luas mulai dari Palembang hingga Riau dan Jambi. Namun, populasi Orang Rimba paling banyak dijumpai di daerah Jambi. Berdasarkan hasil survei Kelompok Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2004 menyatakan, jumlah keseluruhan Orang Rimba di TNBD sejumlah 1.542 jiwa. Mereka menempati hutan yang kemudian dinyatakan kawasan TNBD, terletak di perbatasan empat kabupaten, yaitu Batanghari, Tebo, Merangin, dan Sarolangun. Hingga tahun 2006, paling sedikit terdapat 59 kelompok kecil Orang Rimba. Beberapa dari mereka ada yang mulai hidup dan menyatukan diri dengan kehidupan desa sekitarnya. Namun sebagian besar masih tinggal di hutan dan menerapkan hukum adat sebagaimana nenek moyang dahulu. Selain di TNBD, kelompok-kelompok Orang Rimba juga tersebar di tiga wilayah lain. Populasi terbesar terdapat di Bayung Lencir, Sumatera Selatan, sekitar 8.000 orang. Mereka hidup pada sepanjang aliran anak-anak sungai keempat (lebih kecil dari sungai tersier), seperti anak Sungai Bayung Lencir, Sungai Lilin, dan Sungai Bahar. Ada juga yang hidup di Kabupaten Sarolangun, sepanjang anak Sungai Limun, Batang Asai, Merangin, Tabir, Pelepak, dan Kembang Bungo, jumlahnya sekitar 1.200 orang. Kelompok lainnya menempati Taman Nasional Bukit Tigapuluh, sekitar 500 orang. 

Sumber gambar : Orang Rimba

Namun kini, tradisi dan budaya Orang Rimba atau Suku Anak Dalam yang menetap di kawasan hutan Bukit 12 Provinsi Jambi terancam punah. Kondisi itu diakibatkan tekanan pembangunan perkebunan sawit, Penebangan pohon yang tidak terkendali oleh Perusahan kertas, pembangunan Hutan Tanaman Industri maupun kehadiran Taman Nasional Bukit 12.

Sungai yang biasa digunakan untuk sumber air minum bagi Orang Rimba kini sudah tercemar, sejumlah tanaman obat-obatan yang kerap digunakan Orang Rimba mulai menghilang dan sulit ditemui karena penebangan hutan untuk perkebunan sawit. Perubahan yang paling dirasakan adalah hukum adat yang diberlakukan bagi perusak pohon sulit dilakukan karena kerusakan terjadi secara massal oleh perusahaan. Orang Rimba mempunyai kebudayaan setiap orang harus menjaga satu pohon yang menjadi penanda saat ia lahir atau sebagai pengganti identitas karena mereka tidak mempunyai akta kelahiran. Jika pohon itu dirusak atau bahkan sampai ditebang maka siapapun pelakunya harus dihukum membayar denda sesuai dengan ketentuan adat setempat. Orang Rimba atau Suku Anak Dalam adalah komunitas adat yang tinggal secara semi nomaden di kawasan hutan Bukit 12 dan hidup dari alam dengan berburu. Tekanan dari perkebunan sawit memaksa mereka terus berpindah dan semakin terdesak ke dalam hutan yang kini menjadi Taman Nasional Bukit 12. Sebagai Taman Nasional, Orang Rimba tidak bisa lagi bebas mengelola hutan dengan hukum adat mereka sehingga mereka akan sulit bertahan.

Referensi : 

1. http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1071/suku-anak-dalam-jambi
2. http://www.republika.co.id/berita/regional/nusantara/11/04/15/ljorj4-duhtradisi-dan-budaya-orang-rimba-terancam-punah

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...